Di malam yang dingin itu, dalam kondisi setengah lapar, aku pergi ke kafe itu, sendiri.

Ah, kafe sejuta kenangan, pikirku.
Aku duduk sendiri di salah satu sudut, memerhatikan sekitar dengan nanar

Mendengar musik, melihat susunan kursi, memerhatikan orang lalu-lalang.
Aku memesan secangkir cappuchino hangat. Itu favoritmu, kan? Ah sudahlah, kunikmati saja secangkir ini sendiri. Seperti aku yang berusaha menikmati kesendirianku tanpamu.
Sambil menyeduh kopi, telingaku tiba-tiba menyadari sesuatu.

Ah, lagu ini, sebuah lagu kenangan yang selalu membuatku ingat padamu.

“…ku kan slalu ada tuk dirimu slamanya…”

Haha, selamanya, katamu? Kau di mana sekarang? Bahkan sekarang ini aku duduk di sudut kafe ini sendiri. Bagian mana yang kau bilang “selamanya”?
Aku pun menatap kursi-kursi di kafe ini. Ada yang kosong, ada yang tidak. Sepasang bangku kosong merusak fokusku.

Ah, itu, kursi tempat kita biasa duduk bersama. Menikmati kopi sambil bercengkrama, begitu bahagia. Di mana bahagiaku kini, bahagia kita?
Orang-orang yang lalu lalang pun sempat kupandangi. Entah, salah satu sisi di hatiku berharap masih dapat melihatmu. Walau otakku terus mencari cara untuk menghindarimu. Ah, mungkin kau mau berbelok ke kafe ini dan menemuiku?

Aku tahu, pikiran itu hanyalah sebuah pemikiran utopis yang bahkan sepertinya tak punya probabilita. Walaupun sudah kuanalisa dengan binomial, poisson, dan distribusi normal sekalipun, probabilita untukmu menemuiku lagi? 0%.